SEJAK rezim Soeharto tumbang, partai politik (Parpol) tumbuh bak jamur di musim hujan. Masyarakat sempat bingung untuk menentukan pilihannya. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa pejabat dan pengusaha berbondong-bondong menjadi kader partai. Bekalangan, rakyat mengetahui bahwa partai tersebut hanya dijadikan alat pelindung bagi para koruptor.
Ketika Soeharto bertengger sebagai Presiden RI selama 32 tahun, hanya ada tiga partai yang berhak mengikuti Pemilu. Tapi Soeharto lengser, kemajuan kepartaian di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup drastis.
Di era Presiden Habibie, jumlah Parpol yang terdaftar di Departemen Kehakiman & HAM 141 Parpol, lalu jumlah parpol itu mengerucut sampai 106 terdaftar di KPU 106. Lalu jumlah Parpol yang disyahkan sebagai peserta Pemilu tahun 1999 hanya 48 Parpol.
Pada era Megawati, jumlah Parpol terdaftar di Departemen Kehakiman & HAM 112 Parpol, kemudian 50 yang terdaftar di KPU. Lalu setelah melakukan penyaringan, hanya 24 Parpol yang mengikuti Pemilu tahun 2004.
Baru di era SBY jumlah Parpol yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM 79 Parpol dan 64 yang terdaftar di KPU. Kemudian 38 Parpol dan 6 Parpol lokal/Aceh dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2009.
Memang jika dibandingkan dengan era Orde Baru (Orba), jumlah yang mengikuti Pemilu ketika itu hanya tiga Parpol, sementara Pemilu saat ini jumlah Parpol-nya lebih banyak lagi. Baik dalam pengertian kuantitas maupun kualitas.
Peningkatan jumlah kepartaian tersebut, ternyata mendorong para pejabat dan pengusaha untuk menjadi politisi ‘kardus’ yang hanya merampok uang rakyat. Lalu partai dijadikan tempat berlindung.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Ikrar Nusa mengatakan, bahwa untuk menjadi pejabat dan politisi di Indonesia biayanya sangat mahal, sehingga hal itulah yang mendorong pejabat dan politisi berperilaku korup. ”Praktik korupsi banyak dilakukan oleh pejabat dan politisi. Baik di tingkat pusat maupun daerah.” katanya dalam kesempatan diskusi “Indonesiaku Dibelenggu Koruptor”, di Jakarta, belum lama ini.
Pengusaha, birokrat dan politisi bahu-membahu menyebarkan korupsi di Indonseia. “Kini kultur politik di Indonesia sudah tercemar korupsi, dengan ditandai banyaknya praktik korupsi. Baik di tingkat pusat maupun daerah. Pelaku korupsi di Indonesia sudah tidak malu dan tidak takut melakukan korupsi. Pejabat dan politisi yang sudah ketahuan melakukan korupsi tidak ada yang mudur dari jabatannya, kalau di Jepang pejabat dan politisi yang ketahuan korupsi langsung mundur dari jabatannya.
Sedangkan aktivis LSM ICW, Ade Irawan dalam kesempatan yang sama mengatakan, praktik korupsi yang dilakukan pejabat dan politisi sangat tergambar dalam penyusunan anggaran. Mereka melakukan korupsi dengan cara kompromi saat meyusun anggaran. Baik di tingkat pusat maupun daerah. Kompromi tersebut bukan dilakukan di DPR, tapi dilakukan secara personal di luar sehingga sulit dilacak.
Sementara pengamat ekonomi Hendri Saparini mengatakan, akibat praktik korupsi yang dilakukan para politisi, membuat pihak asing dengan mudah menguasai kekayaan alam yang ada di Indonesia lebih mudah.
“Salah satu modusnya adalah dengan menyuap para pejabat dan politisi agar membuat aturan perundangan yang pro-asing. Dengan diberlakukannya undang-undang yang pro-asing, maka terjadi pembelokan arah kebijakan ekonomi di Indonesia. Banyak UU yang pro-asing yang merugikan bangsa Indonesia untuk jangka panjang,”katanya.
Sulit Bangkit
Soal suap menyuap pejabat dan politisi di Indonesia memang bukan barang, dalam dekade ini saja, sudah puluhan politisi yang dikerangkeng KPK dan Kejaksaan. Baik yang ada di pusat maupun di daerah.
Runyamnya lagi, para politisi ini kongka-lingkong dengan para koruptor. Buktinya, Nunun Nurbaeti, istri anggota DPR Adang Daradjatun sampai saat ini tak diketahui rimbanya. Konyolnya lagi, mantan Kapolri yang duduk di Komisi III dari Fraksi PKS ini seakan menyembunyikan istrinya.
Itu sebabnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan komitmen PKS dalam pemberantasan korupsi yang menolak membujuk kadernya, Adang Daradjatun, untuk bersikap kooperatif terhadap KPK terkait kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Julius Julianto selengkapnya baca Majalah Swara Rakyat edis 77